Asal Usul Danau Toba versi Dongeng
Dongengnya kurang lebih sebagai berikut.
Seorang
petani memenuhi kebutuhan hidupnya sehari dengan menangkap ikan dan
berladang. Suatu hari ia pergi ke sungai untuk mencari ikan. Kemudian
tak berapa lama ia mendapat ikan yang besar dan cantik. Saat
diperhatikan lama, tiba-tiba ikan itu berbicara. Ia minta agar petani
jangan memakannya. Sang ikan adalah putri yang dikutuk dan sang petani
membuatnya terbebas dari kutukan. Sang ikan menjadi seorang putri dan
memberi imbalan dengan menjadi istri sang petani. Ada perjanjian di
antara mereka, sang petani tidak boleh menceritakan asal usul sang putri
yang dari ikan tersebut. Setelah menikah, sang putri melahirkan seorang
bayi laki-laki. Seiring berjalannya waktu, sang anak tumbuh besar namun
selalu merasa lapar.
Suatu hari ia
mendapat tugas mengirim makanan ke ayahnya yang ada di sawah. Walau
begitu, di tengah jalan makanan tersebut dimakan oleh sang anak. Begitu
ketahuan oleh sang ayah, sang ayah menjadi marah. Sang ayah menghardik:
Dasar Anak Ikan! Sang ayah telah melanggar janjinya dengan menghardik
demikian. Akibatnya sang anak dan istri lenyap tanpa jejak. Seiring
lenyapnya mereka berdua, daerah pijakan kaki sang petani memancar air
deras. Sedemikian deras dan akhirnya menjadi telaga, lalu menjadi danau.
Dan danau inilah Danau Toba.
Demikianlah dongeng asal usul Danau Toba.
Asal Usul Danau Toba Sesungguhnya
Danau
toba sesungguhnya berasal dari sebuah letusan gunung berapi raksasa
(supervolcano) yang terjadi 73 ribu tahun lalu. Letusan Toba ini adalah
yang ketiga, dua letusan sebelumnya sudah pernah terjadi dalam jangka
waktu 1 juta tahun. Letusan Toba yang menciptakan danau Toba sekarang
diperkirakan memiliki indeks Ledakan Vulkanis 8 (Mega Kolosal)
sedemikian hingga membentuk kompleks kawah berukuran 3 ribu km persegi.
Volume erupsi diperkirakan antara 2 ribu hingga 3 ribu km kubik magma
dan 800 km kubiknya terendapkan sebagai abu vulkanis. Ukuran ledakannya
adalah dua kali letusan gunung Tambora tahun 1815. Letusan gunung
Tambora saat itu saja sudah cukup menghasilkan “Tahun Tanpa Musim Panas”
di belahan bumi utara.
Menurut Alan
Robock, letusan Toba tidak memicu zaman es. Penelitiannya yang
menganalisa emisi 6 miliar ton sulfur dioksida dalam simulasinya
menunjukkan pendinginan global maksimum sekitar 15 °C, tiga tahun
setelah letusan. Ini berarti garis pepohonan dan salju sekitar 3000
meter lebih rendah dari sekarang. Dalam beberapa dekade, iklim kembali
pulih.
Walau ada banyak perbedaan
pendapat dan metode, para ilmuan setuju kalau letusan super Toba
mengakibatkan lapisan hujan abu yang sangat tebal dan masuknya gas-gas
beracun ke atmofer, sehingga mempengaruhi iklim dunia masa itu. Beberapa
menduga peristiwa ini memicu zaman es 1000 tahun yang terjadi kemudian.
Menceritakan Asal Usul Danau Toba sesungguhnya pada Anak-anak
Sains
sekarang telah cukup maju untuk mengetahui asal usul danau Toba yang
sesungguhnya. Dan cerita asal usul ini ternyata jauh lebih mengagumkan,
jauh lebih mengesankan dari sekedar dongeng. Kenapa mengajarkan dongeng
sementara sains telah memberikan penjelasan yang lebih spektakuler lagi
mengenai asal usul Danau Toba? Tampaknya sebagian besar dari kita masih
belum tahu tentang asal usul Danau Toba. Dan kalaupun tahu, masih tidak
tahu cara mengkomunikasikan fakta ilmiah ini pada anak-anak. Berikut
kami tawarkan sebuah cerita anak yang lebih spektakuler, berdasarkan
fakta sesungguhnya, mengenai asal usul danau Toba.
Di
Zaman Dahulu kala, Ada seorang pemburu yang tinggal di sebuah padang
rumput. Ia adalah leluhur kita. Pekerjaannya sehari-hari adalah memburu
hewan paginya, kembali ke tempat berkumpul bersama keluarganya di waktu
petang.
Matahari baru terbenam kala
itu. Sang pemburu asyik bermain dengan istri dan anak-anaknya. Anggota
kelompok lain sedang menyalakan api. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara gemuruh dari langit.
Di
waktu tengah malam, ada sesuatu yang muncul dari langit. Terjadi hujan
yang aneh. Hujan abu. Sang pemburu dan kelompoknya harus segera
meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat baru. Abu terus
mengguyur. Pemburu dan keluarganya berusaha ke barat, menjauh dari asal
abu. Setelah setahun mereka berjalan ke barat, mereka bertemu dengan
hutan rimba dan pegunungan sangat tinggi. Daerah ini ganas. Walaupun
banyak hewan buruan, tapi lebih sering para pemburu lah yang dimakan
oleh hewan. Kepala suku memutuskan agar kelompok pergi ke utara dan
menghindari hutan lebat di barat.
Maka
berangkatlah para pemburu yang tersisa ke arah utara. Di utara mereka
menemukan banyak sumber makanan, walaupun cuaca saat itu sangat dingin.
Hewan hewan yang tidak mampu bertahan di cuaca dingin mudah diburu dan
karenanya dapat menjamin kelangsungan kelompok.
Pada
akhirnya para leluhur sampai di sebuah selat. Di seberang selat ada
daratan. Walaupun sama saja dengan di sini, tapi mungkin ada hal baru di
sana. Hewan-hewan di sini semakin langka dan iklim semakin kering. Maka
para leluhur membuat sampan untuk menyeberangi selat.
Di
seberang selat adalah daerah yang ternyata tidak lebih baik dari daerah
asal para leluhur. Disini kering, pasir dan abu dimana-mana. Para
leluhur harus berjalan terus di tepi pantai agar tidak terjebak di
tengah gurun. Mereka terus berjalan dan berjalan.
Pada
akhirnya mereka tiba di sebuah dunia yang aneh. Dunia abu-abu,
segalanya penuh tertutup abu. Tampaknya lebih baik disini daripada di
dunia pasir. Lewat musyawarah, akhirnya leluhur memutuskan untuk masuk
ke dunia abu.
Di dunia abu ini, mereka
bertemu dengan penduduk asli. Mereka sama dengan leluhur. Ternyata
mereka adalah kelompok lain yang telah lebih dulu sampai di sini. Mereka
bercengkerama dan berbagi cerita. Mereka juga berbagi trik dan cara
bertahan hidup. Setiap anggota kelompok tahu cara membuat api karena
disini malam dan siang hampir sama gelapnya. Dan tanpa api mereka dapat
tersesat di hutan.
Seiring berjalannya
waktu, debu tidak lagi turun. Matahari mulai jelas terlihat. Para
leluhur memutuskan untuk tidak tinggal di dunia abu-abu yang sekarang
mulai hijau. Mereka berencana mencari tempat baru di timur. Mereka
kembali bertualang. Jumlah leluhur sudah sangat banyak, hanya beberapa
orang saja yang meneruskan perjalanan. Mereka adalah para pemberani yang
gemar bertualang. Mereka menembus hutan belantara dan mendaki gunung
yang tinggi. Mereka bertemu banyak sekali hal-hal menakjubkan. Dari
permata hingga hewan unik. Semua halangan berhasil dilalui, hingga sang
leluhur akhirnya tiba di sebuah selat.
Para
leluhur memutuskan untuk menyeberang selat itu dan tiba di tanah
Sumatera. Mereka berjalan terus ke pedalaman dan akhirnya tiba di sebuah
Danau. Danau Toba yang besar dan berasap. Mereka memandang pada
keluasan danau yang luar biasa. Membentang dengan indahnya. Leluhur yang
paling pintar melihat adanya semburan abu kecil di pinggiran danau. Ia
tersadar kalau inilah sumber gemuruh raksasa yang pernah leluhur mereka
dengar dahulu. Inilah penyebab kenapa leluhur mulai mengungsi di masa
lalu. Inilah penyebab keberadaan kita disini. Ini Danau Toba.
Para
leluhur merasa telah tiba pada tujuannya. Merekapun tinggal di sekitar
Danau Toba. Waktu berlalu dan leluhur terus beranak pinak. Merekalah
leluhur suku Batak. Suku Batak lahir di sini, tak berapa lama setelah
lahirnya Danau Toba. Bisa dikatakan kalau Batak dan Toba adalah saudara.
Danau Toba lahir dan mengundang leluhur untuk menemaninya. Ya, gemuruh
itu adalah tanda kelahiran Danau Toba. Ia berasal dari Letusan Gunung
Api raksasa yang melontarkan abu-abunya ke angkasa. Itulah asal usul
Danau Toba.
Apa sebenarnya yang Kita Ajarkan?
Banyak
yang kita ajarkan lewat dongeng di atas ketimbang sekedar masalah hidup
sederhana, kutukan, keajaiban, keserakahan dan kesetiaan. Kita bicara
tentang bagaimana danau Toba mengubah sejarah evolusi manusia. Itu sebuah keterkaitan besar antara danau Toba dengan seluruh umat manusia.
Kisah
di atas adalah ringkasan singkat mengenai migrasi manusia selama
puluhan ribu tahun yang dipicu oleh letusan Toba. Peristiwa letusan Toba
adalah bencana kiamat bagi leluhur umat manusia kala itu. Dari simulasi
komputer, diperkirakan suhu global turun sekitar 10 derajat Celsius
setelah letusan. Akibatnya dalam sepuluh tahun terjadi musim dingin
vulkanis di Bumi.
Letusan Toba memberi
begitu banyak abu di atmosfer. Sinar matahari tertutup dan uap air
terserap ke dalamnya. Dengan kata lain, musim dingin yang terjadi
bersifat kering. Pepohonan berkurang drastis, begitu juga padang rumput
dan membuat punah banyak mamalia dan hampir menamatkan riwayat evolusi
manusia.
Dunia
menjadi gelap, dingin dan kering selama hampir dua puluh tahun. Sulit
bagi manusia untuk bertahan hidup. Prinsip evolusi mengatakan
beradaptasilah atau kau punah.
Wilayah
yang ditutupi abu vulkanis mencakup Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan
belahan barat, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Daerah ini daerah tropis
sehingga sulit ditemukan adanya kerangka manusia purba yang memberi
petunjuk tentang kehidupan leluhur kita saat itu. Lingkungan tropis yang
lembab membuat tulang cepat hancur sebelum menjadi fosil.
Walau
begitu, di daerah perbatasan seperti Afrika selatan dan timur,
bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya perubahan teknologi yang besar
di masa itu. Sebuah petunjuk adanya proses adaptasi yang dilakukan oleh
leluhur kita agar dapat bertahan hidup. Jika manusia purba di Afrika
yang tidak tertutup abu beradaptasi, apalagi yang ada di daerah tertutup
debu seperti India di Asia Selatan.
Seberapa besar adaptasi yang dilakukan leluhur kita saat itu tergantung pada jenis manusia apa yang ada di Afrika atau India. Manusia modern,
leluhur sesungguhnya kita, belum lagi tinggal di Asia masa itu. Mereka
datang dari Afrika ke Asia 60 ribu tahun lalu, sementara letusan Toba
terjadi 73 ribu tahun lalu.
Manusia
purba yang tinggal di Asia saat letusan gunung Toba adalah Homo erectus.
Mereka sudah tinggal di sana paling tidak sejuta tahun, seperti bukti
dari fosil-fosil Sangiran dan lainnya di Jawa.
Walau
begitu, manusia modern tampaknya sudah ada di Israel pada 130 ribu
tahun lalu dan kemudian di Arab pada 85 ribu tahun lalu, berdasarkan
fosil dari Jebel Faya. Leluhur kita melewati dua jalur masuk, dari
daratan di ujung utara Laut Merah dan di ujung selatan Laut Merah. Kedua
daerah ini lebih dekat lagi ke parameter abu letusan Gunung Toba yang
berbatasan darat di Pakistan. Sayangnya belum ada cukup bukti yang
menunjukkan kalau manusia modern di daerah ini mengevolusikan teknologi
untuk beradaptasi seperti leluhur kita di Afrika Timur dan Selatan.
Bila
manusia modern bahkan telah ada di dalam perimeter letusan danau Toba
di masa ini, seperti India misalnya, maka teknologi akan lebih
berkembang lagi. Atau mungkin mereka punah dan digantikan oleh leluhur
kita yang juga leluhur mereka, yang datang dalam gelombang kedua setelah
letusan. Populasi manusia modern yang masih tersisa setelah bencana
Toba dapat berbaur dengan pendatang baru mereka dan mengadopsi teknologi
mereka. Atau mungkin leluhur dari gelombang kedua (H. sapiens)
menghancurkan penduduk asli (H. sapiens) dan kemudian juga menghancurkan
Homo erectus yang lebih asli lagi, seperti mereka yang tinggal di Jawa.
Dan memulai kekuasaan besar manusia di Asia Selatan dan Tenggara,
termasuk di Indonesia.
Masih banyak PR
yang bisa dikerjakan para ilmuan mengenai jalur migrasi manusia modern
sebelum dan sesudah bencana Toba. Apapun itu, bencana Toba jelas
memberikan arti yang besar bagi sejarah evolusi kita. Bisa jadi ia lah
penyebab keberadaan kita sekarang di Indonesia. Karenanya, fakta ilmiah
asal usul danau Toba jauh lebih berharga daripada dongeng asal usul
danau Toba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar