Kamis, 17 Mei 2012

LATAR BELAKANG PERKAWINAN BEDA AGAMA part 1


Setiap manusia mempunya hak untuk melanjutkan keturunannya dan membentuk keluarga yang bahagia dalam mewujudkan suatu ikatan yang sah di mata hukum. Perkawinan sudah ada sejak jaman dahulu kala, banyak sekali adat-adat yang mempunyai sistem perkawinannya sendiri dan bermacam-macam aturan telah dibuat untuk membuat perkawinan tersebut menjadi resmi secara adat. Aturan-aturan tersebut sampai sekarang tetap dijadikan acuan untuk melangsungkan suatu perkawinan secara adat maupun keagamaan dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat, para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Perkawinan dalam bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama.
Indonesia sendiri tidak masalah dengan perkawinan yang berbeda suku, bangsa, budaya dan kewarganegaraan antara laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan suatu perkawinan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia atau yang biasa dikenal dengan perkawinan campuran.
Indonesia kini sudah memiliki hukum nasional dalam melangsungkan perkawinan, tetapi negara tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaannya melainkan hanya sebagai administrasinya saja dan mengatur sebagian syarat-syarat untuk menciptakan perkawinan. Sahnya  Perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya memandang suatu perkawinan dari aspek formal saja tetapi juga memandang dari aspek agama. Aspek formal berkaitan dengan aspek administrasi yaitu berkaitan dengan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam, sedangkan aspek agama berkaitan dengan keabsahan suatu perkawinan
Kelahiran UU Perkawinan bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku nasional dan menyeluruh, melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik. [1]Penjelasan Umum dalam UU Perkawinan menyebutkan bahwa prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Pergaulan hubungan manusia telah berkembang dengan begitu pesatnya sehingga menembus batas-batas golongan, suku, ras dan agamanya sendiri. Berdasarkan kondisi pergaulan tersebut, maka perkawinan antar suku, antar ras, bahkan antar agama sudah bukan menjadi suatu hal yang mustahil terjadi.
Perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agamanya di Indonesia sudah sering terjadi karena masyarakatnya yang heterogen.[2] Agama yang diakui di Indonesia ada Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha ditambah dengan Kong Hu Cu yang tentunya dengan keanekaragaman agama ini menjadi faktor pendukung terciptanya perkawinan beda agama.

Putusan Makhamah Agung No. 1400/K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 tersebut mengabulkan permohonan para pihak dan memerintahkan kantor catatan sipil untuk menyelenggarakan perkawinan Andy Vonny Gani P dengan Adrioanus Petrus Hendrik Nelwan. Hakim menyetujui bahwa pengadilan negerilah yang mempunyai kewenangan  karena hal ini adalah perkawinan beda agama, yang tentunya ditolak oleh pengadilan agama. Hakim melihat bahwa memang adanya kekosongan hukum yang harus segera diberi pemecahan supaya masalah ini tidak dibiarkan terjadi berlarut-larut. Hal tersebut tepat dilakukan jika dilihat dari asas penyelenggaraan kehakiman yaitu hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat
Makhamah Agung juga berpendapat bahwa tidak ada larangan mengadakan perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan. Hakim berpandangan bahwa semenjak masing-masing pihak ingin mengadakan perkawinan beda agama dan mengajukan permohonan ke pengadilan maka pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya, sehingga menurut Pasal 8 huruf f UU Perkawinan, perkawinan tidak lagi merupakan halangan untuk melangsungkan perkawinan bagi para pihak yang mengkehendakinya

[1] Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hlm. 8.

[2] Rachmdi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar