Kamis, 17 Mei 2012

LATAR BELAKANG PERKAWINAN BEDA AGAMA part 2


Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 memerintahkan kantor catatan sipil tidak boleh menyelenggarakan perkawinan melainkan hanya mencatat suatu perkawinan yang sah sesuai UU Perkawinan, hal tersebut membuat kantor catatan sipil tidak dapat menyelenggarakan perkawinan beda agama lagi, namun hanya mencatat saja. Hal tersebut membuat kebingungan bagi para pihak yang ingin mengadakan perkawinan beda agama dan sah di mata hukum karena jika dalam perkawinan menurut Islam maka akan dicatat dalam Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan bagi yang beragama bukan Islam melakukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil.
Pasal 35 huruf a  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminduk)  menyatakan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, hal tersebut menunjukkan adanya pencerahan bagi yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama. Pasal 21 UU Perkawinan menyebutkan bahwa pegawai pencatat perkawinan akan melangsungkan perkawinan kalau diperintah oleh pengadilan. Penafsiran-penafsiran hakim banyak yang berbeda dalam memberikan ketetapan perkawinan beda agama, hal tersebut disebabkan tidak adanya peraturan yang baru dan jelas mengenai syarat bagaimana melangsungkan perkawinan beda agama tersebut
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim juga harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dalam memberi putusan atau penetapan yang diajukan oleh para pihak yang bermasalah. Permasalahan sering kali muncul dalam hakim yang ingin memberi penetapan bagi permohonan penetapan perkawinan beda agama ke pengadilan negeri karena ada hakim yang masih melihat pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Tiap-tiap agama pada dasarnya tidak menginginkan adanya perkawinan beda agama, seperti di Islam pada surat Al-Baqarah ayat 221  disebutkan bahwa  bagi pria atau wanita Islam diharamkan menikah dengan golongan musyrik, ketentuan ini dipertegas lagi dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama yang dalam fatwa itu menyebutkan bahwa perkawinan beda agama itu tidak sah dan perkawinan yang dilangsungkan antara pria muslim dengan wanita ahlul kitab adalah haram dan tidak sah.
Agama Kristen Protestan biasa menyebut istilah perkawinan dengan pernikahan, memang tidak ada suatu buku atau peraturan yang mengatur pernikahan seperti pada agama-agama lainnya dalam Agama Kristen Protestan, tetapi pada hakekatnya Agama Kristen Protestan melarang tegas pernikahan yang tidak seiman, hal tersebut dapat dilihat dalam II Korintus ayat 2 Pasal 6:14-18 yang menyatakan bahwa janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.
Agama Katolik mempunyai ketentuan hukum perkawinan yang terdapat dalam Kitab Hukum Kanonik. Menurut pandangan Agama Katolik  bahwa perkawinan adalah sakramen, karena perkawinan dipandang suatu hal yang suci. Berdasarkan Kanon 1055 Pasal 1 dan 2 bahwa  perkawinan antara orang-orang yang sudah dibaptis dalam Kristus Tuhan dapat diangkat menjadi sakramen.[1]
perkawinan yg dilangsungkan untuk yang bukan kalangan Islam dan Pencatatan Talak, Nikah dan Rujuk yang menurut Islam. Para pihak yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama dapat meminta penetapan pengadilan negeri untuk dicatat oleh kantor catatan sipil. Salah satu kasus terkenal dalam perkawinan beda agama adalah antara Andy Vonny Gani P dengan Adrioanus Petruk Hendrik Nelwan.

Putusan Makhamah Agung No. 1400/K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 tersebut mengabulkan permohonan para pihak dan memerintahkan kantor catatan sipil untuk menyelenggarakan perkawinan Andy Vonny Gani P dengan Adrioanus Petrus Hendrik Nelwan. Hakim menyetujui bahwa pengadilan negerilah yang mempunyai kewenangan  karena hal ini adalah perkawinan beda agama, yang tentunya ditolak oleh pengadilan agama. Hakim melihat bahwa memang adanya kekosongan hukum yang harus segera diberi pemecahan supaya masalah ini tidak dibiarkan terjadi berlarut-larut. Hal tersebut tepat dilakukan jika dilihat dari asas penyelenggaraan kehakiman yaitu hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat

[1]Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1986.. 108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar